
Amerika Serikat (AS) kembali memberikan tekanan besar pada Lebanon dengan menuntut agar kelompok militan Hizbullah menyerahkan seluruh persenjataan mereka di seluruh wilayah Lebanon. Hal ini harus dilakukan paling lambat pada November 2025. Tuntutan ini datang sebagai bagian dari kesepakatan yang lebih besar yang melibatkan penghentian operasi militer Israel di Lebanon.
Tuntutan AS Sebagai Imbalan atas Penarikan Pasukan Israel
Menurut sejumlah sumber yang mengetahui permasalahan ini, pemerintah Lebanon tengah menyusun langkah balasan untuk mengatasi tuntutan dari Washington. Salah satu poin utama dalam tuntutan ini adalah agar Hizbullah menyerahkan senjatanya secara total di seluruh Lebanon sebagai syarat agar Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mundur dari wilayah selatan Lebanon, yang selama ini telah menjadi titik rawan konflik. Proses ini diusulkan untuk dilakukan dalam tahapan, dengan pelucutan senjata diperkirakan selesai pada akhir tahun 2025.
Tuntutan ini pertama kali disampaikan oleh Thomas Barrack, utusan khusus AS untuk Suriah, pada kunjungannya ke Beirut pada 19 Juni 2025. Dalam kunjungan tersebut, Barrack mengajukan sebuah peta jalan yang mencakup beberapa langkah strategis, termasuk memperkuat hubungan Lebanon dengan Suriah dan implementasi reformasi keuangan di Lebanon. Peta jalan ini berfokus pada pelucutan senjata Hizbullah dan kelompok militan lainnya.
Barrack juga menegaskan bahwa AS tidak akan mendukung rekonstruksi Lebanon jika Hizbullah tidak menyerahkan persenjataannya. Selain itu, ia juga mengusulkan agar pembebasan tahanan yang terkait dengan Hizbullah, yang ditahan oleh Israel, dapat dijamin melalui mekanisme yang dipantau oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tekanan Internasional dan Pendekatan Bertahap
Dalam prosesnya, Barrack menawarkan pendekatan bertahap untuk pelucutan senjata, yang berfokus pada daerah-daerah yang paling terdampak konflik. Langkah ini diharapkan bisa mengakhiri serangan-serangan Israel yang selama ini menargetkan anggota Hizbullah, serta membuka peluang untuk dana internasional guna membangun kembali wilayah Lebanon yang hancur akibat konflik yang terus berkepanjangan. Tentu saja, untuk mencapai tujuan tersebut, seluruh pihak terkait harus bekerja sama.
Namun, meskipun Barrack berusaha keras mendorong perubahan, ia belum mendapatkan persetujuan dari Israel mengenai peta jalan ini. Sebagai bagian dari pendekatan yang lebih luas, Barrack juga menginginkan agar Lebanon dapat memanfaatkan peluang yang ada dalam peta jalan ini, karena diyakini bahwa kesempatan serupa tidak akan datang lagi.
Hizbullah dan Posisi Lebanon
Di sisi lain, Hizbullah yang mendapat dukungan kuat dari Iran, menunjukkan sikap lebih hati-hati terhadap proposal ini. Meski tidak menolak untuk bekerja sama dengan komite yang dibentuk oleh pemerintah Lebanon untuk merumuskan tanggapan, Hizbullah belum memberikan komitmen pasti terkait pelucutan senjata mereka. Bahkan, sumber yang terkait dengan Hizbullah mengungkapkan bahwa kelompok ini belum sepenuhnya setuju untuk meletakkan senjata mereka, meskipun mereka mulai menunjukkan sinyal ke arah kooperatif.
Pihak Lebanon sendiri kini menghadapi dilema besar. Presiden Lebanon Joseph Aoun, Perdana Menteri Nawaf Salam, serta Ketua Parlemen Nabih Berri (yang juga sekutu Hizbullah) sedang membahas langkah-langkah yang perlu diambil. Beberapa sumber mengungkapkan bahwa Berri sedang berusaha keras untuk mengamankan pandangan Hizbullah, tetapi sejauh ini, masih ada ketidakpastian tentang bagaimana hal ini akan berkembang.
Impak Konflik terhadap Stabilitas di Timur Tengah
Perundingan terkait pelucutan senjata Hizbullah ini menyoroti perubahan besar dalam dinamika kekuatan Timur Tengah. Pasca perang besar antara Israel dan sekutu-sekutunya, termasuk Hizbullah, pada tahun 2023, sebagian besar persenjataan Hizbullah telah hancur akibat serangan udara Israel. Beberapa depot senjata yang tersisa kemudian diserahkan kepada Angkatan Bersenjata Lebanon di bawah perjanjian gencatan senjata yang ditengahi oleh AS.
Namun, meskipun ada kesepakatan yang mengarah pada pelucutan senjata, Hizbullah hanya sepakat untuk pelucutan senjata di wilayah-wilayah selatan Lebanon yang terlibat dalam pertempuran, dan belum mengizinkan proses ini berlangsung di seluruh negeri.
Proses dan Harapan Perdamaian
Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, menyatakan bahwa meskipun pembicaraan perdamaian antara Lebanon dan Israel serta Lebanon dan Suriah terus berjalan, masalah pelucutan senjata Hizbullah harus diselesaikan terlebih dahulu. Israel menekankan bahwa tanpa pelucutan senjata Hizbullah, normalisasi hubungan dengan Lebanon dan Suriah tidak akan terlaksana. Namun, mereka juga mengakui bahwa Angkatan Bersenjata Lebanon (LAF) telah menunjukkan kemauan untuk mengatasi masalah ini, meskipun dihadapkan dengan banyak keterbatasan.
Dengan segala permasalahan yang ada, baik Lebanon maupun komunitas internasional berharap proses ini bisa membuka jalan menuju perdamaian yang lebih stabil di kawasan, meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi oleh semua pihak.