Situasi Mencekam di Myanmar, Warga Hidup di Tengah Bau Mayat Pascagempa

Jakarta, Indonesia – Saat gempa bumi mengguncang Myanmar, Ko Zeyer melintasi bangunan runtuh, jalan rusak, hingga lubang menganga di kampung halamannya di Sagaing. Biasanya, perjalanan dari Mandalay ke sana hanya memakan waktu 45 menit dengan mobil melintasi Sungai Irrawaddy. Namun, sejak gempa mengguncang pada Jumat pekan lalu, perjalanannya memakan waktu lebih dari 24 jam karena jembatan rusak dan jalan tertutup reruntuhan.
Ko Zeyer menemukan keluarganya dalam keadaan selamat. Namun, banyak teman-temannya tewas dan sebagian besar kota hancur. Di tengah kondisi ini, para penyelamat kesulitan mencari bantuan dan sumber daya di negara yang masih berada di bawah kendali junta militer dan konflik berkepanjangan.
“Bau mayat telah memenuhi kota,” ujar Ko Zeyer, seorang pekerja sosial, kepada CNN, Sabtu (4/4).
Ribuan Tewas dan Warga Mengungsi
Pemerintah setempat telah mengonfirmasi sedikitnya 3.145 korban jiwa akibat gempa tersebut. Banyak korban masih terjebak di bawah reruntuhan. Warga kini mengantre untuk mendapatkan makanan dan air, sementara gempa susulan terus mengguncang wilayah tersebut.
“Hampir seluruh warga tinggal dan tidur di jalan, peron, atau lapangan sepak bola. Termasuk saya sendiri. Itu sangat menakutkan,” ungkap Ko Zeyer.
“Saya tidak tidur di dalam rumah, tetapi di ambang pintu agar bisa segera lari jika terjadi gempa susulan.”
Kota Rata dengan Tanah
Kyaw Min, seorang relawan penyelamat, menggambarkan kondisi Sagaing sangat memprihatinkan. Rumah, sekolah, kuil, masjid, dan toko-toko hancur total.
“Tempat ini tampak seperti kota kematian, seperti dibombardir dengan bom nuklir,” ucapnya.
Gempa juga menyebabkan kerusakan besar di Mandalay—kota berpenduduk sekitar 1,5 juta orang—dan ibu kota militer Naypyidaw. Guncangan terasa hingga ke Thailand dan Tiongkok.
Selama berhari-hari, Kyaw Min dan tim relawan menggali puing-puing dengan tangan kosong dan alat seadanya demi menyelamatkan korban.
“Kami menemukan banyak mayat, termasuk anak-anak dan orang tua. Ada yang tanpa kepala, tangan, atau kaki. Ini benar-benar pengalaman yang sangat mengerikan,” ujarnya.
Hambatan Penyelamatan
Menurut Kyaw Min, sekitar 80 persen bangunan di Sagaing rusak akibat gempa. Desa-desa di sekitarnya pun mengalami kerusakan parah. Akses jalan menuju desa-desa terpencil juga rusak parah, sehingga menyulitkan pengiriman alat berat seperti ekskavator dan backhoe.
“Misi penyelamatan dan bantuan tidak bisa segera tiba karena jembatan yang menghubungkan ke Sagaing rusak berat,” jelas Ko Zeyer.
“Banyak yang akhirnya kehilangan nyawa karena bantuan datang terlambat.”