Misi Damai Trump di Ukraina Terhalang Manuver Rusia

kepalabatu By kepalabatu March 12, 2025

Serangan Besar Rusia di Dobropillia

Serangan besar-besaran Rusia terhadap kompleks perumahan di Dobropillia, Ukraina, pada hari Senin memperlihatkan tantangan berat terhadap upaya perdamaian. Gagasan gencatan senjata 30 hari terdengar menjanjikan, namun dalam konflik yang telah berlangsung selama satu dekade, implementasinya sangat kompleks dan penuh risiko. Bagaimana gencatan senjata ini bertahan akan menentukan nasib Ukraina dalam hal dukungan, kedaulatan, dan kelangsungan hidupnya.

Setelah ratusan ribu warga Ukraina dan Rusia tewas, sulit bagi kedua belah pihak untuk menolak konsep gencatan senjata. Moskow pun berada di bawah tekanan untuk menunjukkan bahwa mereka bukanlah penghalang bagi rencana perdamaian Presiden AS Donald Trump.

Namun, bagi Kremlin, ini adalah posisi yang aneh. Setelah tiga tahun agresi brutal dan minimnya keinginan publik untuk mengakhiri perang, Rusia kini harus menjaga citranya sebagai mitra Trump dalam perdamaian. Putin kemungkinan besar akan menerima beberapa bentuk perundingan, meski mungkin tidak dalam bentuk gencatan senjata langsung. Seperti yang pernah terjadi, Rusia bisa saja menunda penerapannya demi kepentingan militer, terutama di wilayah Kursk, tempat Ukraina hampir kehilangan kendali sejak Agustus.

Realitas Diplomasi dan Tantangan di Lapangan

Diplomasi telepon kini diuji dengan kenyataan di lapangan. Dua argumen utama menjadi ujian utama:

  1. Rusia Tidak Dapat Dipercaya
    Sejarah menunjukkan bahwa Kremlin jarang menepati janji diplomasi.
  2. Ambisi Maksimalis Kyiv
    Ukraina ingin merebut kembali wilayahnya dan menolak pembekuan garis depan, yang berarti kehilangan seperlima wilayah secara permanen. Jika gencatan senjata diberlakukan, Ukraina bisa berada dalam posisi yang lebih lemah saat Rusia menyerang kembali.

Pada saat yang sama, sebagian besar rakyat Ukraina menyadari bahwa serangan balasan untuk merebut wilayah hanyalah mimpi kosong. Mereka kesulitan menahan serangan Rusia akibat minimnya amunisi dan tenaga kerja.

Namun, realitas perang yang penuh kekacauan justru berisiko merusak gencatan senjata. Alih-alih mengarah ke perdamaian, gencatan senjata bisa berubah menjadi ajang saling menyalahkan atas kegagalannya.

Putin dan Strategi Gencatan Senjata

Putin memiliki kepentingan besar dalam menciptakan narasi bahwa Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky adalah penghalang perdamaian. Ia tidak bisa terang-terangan menolak gencatan senjata tanpa kehilangan landasan moral—meski landasan ini fiktif. Namun, apa yang terjadi selama jeda pertempuran akan menentukan nasib perang ini.

Gencatan senjata yang diusulkan adalah penghentian total perang selama satu bulan penuh di semua garis depan. Ini adalah permintaan besar. Selama bertahun-tahun, kedua belah pihak telah terlibat dalam perang sengit dengan kendaraan lapis baja, artileri, dan drone. Tiba-tiba, mereka diminta untuk berhenti sepenuhnya—tanpa kesalahan, tanpa tembakan panik, dan tanpa insiden kecil yang bisa menyulut kembali konflik.

Karena alasan ini, beberapa pejabat Eropa dan Ukraina awalnya mengusulkan gencatan senjata terbatas, hanya di udara, laut, dan infrastruktur energi. Gagasan ini lebih mudah diawasi, namun akhirnya ditolak di Jeddah. Jika Moskow setuju, maka semuanya harus berhenti secara total selama sebulan.

Tetapi, apakah mungkin tidak ada kesalahan atau insiden?

Risiko Besar: Manipulasi dan Misinformasi

Sejarah menunjukkan bahwa Rusia sangat ahli dalam manipulasi dan operasi bendera palsu. Dalam jeda perang selama sebulan, kemungkinan besar akan muncul bentrokan senjata ringan atau serangan drone yang sulit ditentukan siapa pelakunya. Teknologi AI, akun palsu, serta insiden yang direkayasa bisa dengan mudah memenuhi ruang informasi, mempersulit dunia untuk menentukan siapa yang sebenarnya melanggar gencatan senjata.

Bukti masa lalu menunjukkan bahwa Rusia sering melanggar kesepakatan:

  • Menginvasi Krimea pada 2014 meski awalnya membantahnya.
  • Menyetujui gencatan senjata pada 2015, tetapi langsung merebut kota Debaltseve.
  • Berkata tidak akan melancarkan invasi besar ke Ukraina pada 2022, tetapi melakukannya.
  • Menyangkal penggunaan tahanan dalam pertempuran, tetapi kini hampir semua penjaranya kosong.

Dengan rekam jejak ini, seharusnya ada pesimisme tinggi terhadap upaya gencatan senjata.

Kesimpulan: Permainan Kremlin yang Rumit

Risikonya sangat jelas:

  1. Jika gencatan senjata gagal, kemungkinan besar karena pelanggaran Rusia.
  2. Trump bisa salah kaprah, menyalahkan Ukraina atas gagalnya perdamaian.
  3. Bantuan militer ke Ukraina bisa terhenti lagi, dengan alasan bahwa mereka adalah pihak yang melanggar perjanjian.
  4. Rusia bisa mengklaim diri sebagai korban, lalu melancarkan serangan besar ke Ukraina saat dukungan Barat mulai melemah.

Seperti yang dikatakan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, “Bola sekarang ada di tangan mereka.” Namun, Rusia telah terbukti pandai memanipulasi permainan: menyembunyikan bola, mengubah aturan, dan mengklaim bahwa mereka adalah pihak yang dirugikan.

Gedung Putih kini akan menghadapi kelas master dalam diplomasi ala Kremlin. Pendekatan Trump yang blak-blakan mungkin bisa membawa perubahan besar, tetapi bisa juga terlalu sederhana untuk menghadapi strategi licik Moskow.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *